Melangkah pelan dari rak buku satu ke rak buku
lainnya. Mencari novel yang menurutku menarik dan yang akan aku beli untuk membacanya.
“Pinocchio” melihat sebuah buku yang berjudul seperti itu membuat aku teringat dengan
seorang yang selalu menemaniku tapi, itu dulu. Umurnya yang lebih tua membuatku menganggap dirinya
sebagai kakak laki-lakiku, dia bernama, Pratama. Aku sering memanggilnya dengan
nama kecilnya, Tama. Tama suka sekali dengan cerita Pinokio, dia bilang kalau Pinokio
itu unik, entahlah mungkin karena Pinokio terbuat dari kayu. Dia juga pernah
bilang kalau dia ingin aku seperti Pinokio, jadi kalau aku bohong pasti ketahuan
dan hal itu yang membuat aku tersenyum disaat aku mengingatnya. Tama, kemana sosok
dirimu kini? Apakah engkau tinggalkan aku hanya karena untuk melupakan adik kecilmu
disini? Tama…. Aku ingat kata-katamu dulu saat kita sedang terlentang diatas
rumput hijau yang ditemani dengan pohon yang rindang. Matahari pun juga melihat
kita berdua. Disitu, kamu berkata, “Jangan pernah sia-siakan orang yang sayang
sama kamu Gin.” Tapi, mengapa kamu yang menyia-yiakan orang tersebut, yaitu
aku, adik kecilmu. Tama, aku sayang sama kamu walaupun kita itu hanya teman dan
aku selalu menganggap kamu lebih dari teman.
***
22hari
berlalu, kini aku hanya memandang pelangi yang datang setelah hujan. Dari
kejauhan, aku melihat kamar Tama yang berada didepan kamarku tapi beda rumah.
Kaca jendela kamarnya berada didepan kaca jendela kamarku dan disitulah pertama kali kita bertemu dan
berkenalan denganmu Tama. Saat pertama kali bertemu, kamu terlihat ramah
padaku, senyuman yang dihiasi dengan lesung pipitmu membuat senyuman itu manis
sekali. Tama, aku ingat kejadian itu. Apakah kamu ingat? Kamu pernah bilang
kalau pelangi itu indah, indah seperti diriku. Tama, apakah kata-kata itu masih
untukku? Apakah untuk adik kecil lain yang sekarang kamu temani? Coba saja kamu
masih berada disini dan tak pergi jauh dariku, pasti sekarang kita melihat
pelangi berdua Tam…
***
“Gin, jangan telat makan yaaa. Ingat
lho, kamu punya maag, jangan sampai kambuh yaa.” Ucapan itu masih tercatat
diotakku dan masih terulang dipikiranku. Aku kangen perhatianmu Tam, perhatian
kamu yang seperti kakak kandung yang perhatian kepada adiknya sendiri Tam.
Tapi, perhatianmu itu terlalu lembut. Aku ingat, waktu aku sakit dan aku
terpaksa dirawat dirumah sakit, kamu slalu menjengukku, melihat keadaanku, menemaniku
dan tak lupa membawa sebungkus wafer coklat kesukaanku. Disaat aku lemah, kau
slalu ada untukku, namun, kamu berkata aneh padaku, “Gin, cepat sembuh ya, biar
kamu bisa melakukan aktivitas yang lain dan kamu nggak usah butuh aku lagi
disaat kamu sembuh.”
“Tam, kamu ngomong apa sih? Aku
nggak ngerti.”
“Suatu saat kamu juga bakalan
mengerti ko. Kamu tahu kan cerita tentang novel yang waktu itu aku beli?
Ingatkan?”
“Iya Tam, kenapa?”
“aku rasa, cerita itu benar, kalau
tak selamanya orang yang sayang sama kamu slalu berada disampingmu.”
“Ya memang tidak, karena mereka kan
bisa pergi jauh dariku. Ya maksudku dengan pergi jauh dari dunia ini. Memang
kenapa Tam? Apa hubungannya?”
Tama hanya diam dan tersenyum,
kemudian mengelus rambutku yang hitam. Aku menatapnya heran, namun aku juga
menyelipkan senyumanku untuknya, Tama.
***
Aku merasakan hal yang aneh, sudah
lebih dari seminggu tak ada kabar dari Tama. Ponselnya juga tak bisa dihubungi,
aku benar-benar khawatir tentang Tama. Dan keberadaan rumahnya juga mulai sepi,
akupun sudah jarang melihat keluarganya, bahkan rumahnya seperti sudah tak
ditempati lagi. Dan akhirnya aku mendapatkan kabar dari Tama. Tama sendiri yang
menghubungiku, aku begitu senang mendapatkan panggilan dari dirinya.
“Halo? Tama?”
“Gin, aku tunggu kamu dipohon ya.
Sekarang.”
“Memangnya………………………………” tiba-tiba,
“Tut.. tut.. tut.. tut..”
Disinilah kejadian yang membuatku
tak tahan air mataku, pengakuan Tama slama ini, Tama harus pergi, Tama harus
meninggalkanku demi penyakitnya. Aku mendukung tapi sedikit tak rela. Dan
akhirnya kini cerita novel yang Tama beli waktu itu, ternyata menjadi
kenyataan. Akupun mengalaminya.
“Tam, kemana saja dirimu?”
“Duduk Gin sini.”
Tak
seperti biasanya, diraut wajahnya. Aku duduk disamping Tama, melihat Tama
dengan rasa heran. Aku lihat wajah Tama seperti tak biasanya, raut wajahnya
menyelipkan sesuatu. Ku rasa Tama ada masalah.
“Gina, kamu mau buat aku senangkan?
Aku yakin kamu slalu mendukungku apapun yang terjadi walaupun kamu tak rela.”
“Maksudmu apa Tam?”
“Aku mau kamu mendukung kepergianku.
Aku ingin pergi ke luar negri, slama ini aku menghilang karena aku berada
dirumah sakit. Sebenarnya ada rahasia yang tak pernah aku beri tahu kepadamu,
aku mengidap penyakit berbahaya. Dan dokter bilang aku harus dirawat diluar
negri. Tapi entah, aku akan bisa kembali kesini atau aku akan selamanya disana.
Karena penyakitku ini sudah sangat bahaya.
Jadi, harapan untuk sembuh sudah hampir hilang.”
“Tam…. Kamu becanda kan?”
“Aku serius Gin. doain aku ya, besok
aku akan berangkat.”
Seketika saat mengingat kejadian
itu, aku langsung menatap laci kamar yang terdapat bingkai foto yang isinya fotoku
bersama Tama. Terlihat aku sedang tersenyum difoto tersebut sedangkan, Tama
sedang memberikan raut mukanya yang lucu. Latar tempat foto itu disebuah taman,
dimana tempat aku dan Tama berbagi cerita. Tama, aku rindu sosokmu. Aku rindu
senyuman yang kamu berikan slalu untukku. Tama, apa kabar dirimu disana? Aku
hanya bertanya dalam hati tentang dirimu dan kini aku mencoba untuk bisa
menjalani hari tanpamu. Setelah kejadian itu, aku menjalani hari tanpa senyuman
Tama, tanpa ditemani Tama, tanpa disemangati Tama. Ternyata bukan aku saja yang
kehilangan sosok Tama, bahkan dengan Hanna. Dia adalah teman Tama, teman
seumuran dengannya, dia mempunyai perasaan yang sama denganku yaitu,
mengaguminya diam-diam. Hanna bercerita padaku tentang perasaannya tapi, aku memutuskan
untuk bercerita tentang perasaanku terhadap Tama.
“Gin, Tama kemana sih? Ko nggak
kelihatan dari kemarin?” Tanya Hanna dengan nada penasaran dan kekhawatirannya.
Aku pun juga pernah merasakan hal seperti itu.
“Memangnya kamu belum tahu tentang kabar
Tama, Kak? Tama ke luar negri, dia mau menyembuhkan penyakitnya yang sudah
divonis dokter berbahaya.”
Seketika Hanna kaget, merasa tak
percaya dengan apa yang aku bicarakan. Memang, aku mengerti perasaan
Hanna. Seseorang yang sangat sayang
kepada Tama dan pernah sempat berfikir kalau aku itu adalah pacarnya. Hanna
juga pernah meminta padaku untuk menyomblanginya dengan Tama, jika hal itu
berhasil, aku akan mendapatkan apa yang aku mau. Hanna memang kaya, terkenal
dengan uangnya, dia juga dipandang orang-orang. Tapi maaf, Tama bukan aku jual
untuk Hanna. Aku juga tak mau memaksakan Tama berpacaran dengan Hanna, karena
Tama sendiri tak suka pada Hanna.
“Serius?”
Aku mengangguk, kemudian pergi
meninggalkan Hanna yang sedang berada disekolahku untuk menemuiku hanya untuk
menanyakan tentang Tama. Tama, tahukan kamu? ternyata disini banyak yang sayang
sama kamu. Apa kamu menyadarinya?
***
Sudah beberapa tahun aku menjalani
hariku seperti ini. Bahkan aku sudah bisa melupakan Tama dan membuka hati
kepada orang-orang yang sayang kepadaku. Tapi, kadang masih terlihat jelas
diotakku tentang kenangan bersama Tama. Namun, itu harus aku kenang dan tak
akan aku lupakan. Aku sekarang menginjak kakiku di Negara yang terkenal dengan
jam besarnya yaitu, Inggris. Aku juga bersekolah di London, tapi entah aku
terkadang mengharapkan kalau aku akan bertemu Tama. Bersama sahabatku, Dimas,
hari-hariku terasa menyenangkan.
“Apakah kamu Gina?” Ucap seorang ibu
yang sudah berumur. Berpakaian rapi, tapi, layaknya orang Indonesia.
“Iya.”
“Apakah kamu lupa dengan Tante?
Ingatkah kamu Gina?”
Aku memutar otakku untuk mengingat.
Ya! Dia adalah ibunda dari Tama. Apakah Tama bersamanya? Bisakah aku bertemu
Tama?
“Ibunda Tama? Oh syukurlah, tante,
aku kangen dirimu.”
“Tante juga sayang. Masih ingat
dengan Tama? Apakah kamu kangen dirinya?”
Aku mengangguk pelan. Menyelipkan
senyuman kecil pada kepalaku yang mengangguk. Tentu saja aku kangen Tama, mana mungkin aku
tak kangen dengan sosok dirinya yang pernah menetap dihatiku. Walaupun sekarang
tak terlalu ada, karena aku tak mau terlalu memikirkan tentang cinta.
“Mau ikut Tante?”
“Kemana?”
“Ke tempat tinggalnya Tama
sekarang.”
***
Ternyata aku sudah mengetahui dimana
Tama sekarang. Dimana tempat tinggal Tama sekarang. Dan tempat itu tempat
terakhir untuk Tama. Sebuah pemakaman, disitulah Tama berada. Tama sudah
tertidur untuk selamanya. Penyakitnya berhasil membuat aku dan Tama berpisah.
Disitu aku melihat, nama Tama dicantumkan. Aku sekarang tahu bahwa Tama tak ada
lagi didunia ini. Mungkin hanya kenangan yang dapat aku kenang. Tam, aku ingat
perkataanmu, perkataan janji dan akupun harus menerima janji itu dan
menepatinya.
“Gin, kalau nanti aku sudah tak ada,
tetap tersenyum ya. Kasih yang terbaik kepada orang-orang yang kamu sayang dan
sayang sama kamu juga. Jangan sia-siakan orang yang sayang sama kamu dan juga
kamu harus janji, kalau kamu harus bisa jalani hari tanpaku. Janji?”
Disitulah ucapan Tama padaku saat
Tama mulai berjalan menuju pesawat terbang yang berangkat menuju Inggris. Tama,
ternyata disitulah kamu berada. Sekarang kamu sudah istirahat dengan tenang.
Walaupun air mataku tak kuat menahan dan hatiku sedikit tak rela dengan
kepergian dirimu.
***
“Ini Gin, untukmu. Tama
menitipkannya kepada tante. Karena dia tahu, bahwa tante akan bertemu dengan
kamu disuatu tempat. Tolong bukalah..” Ibunda Tama memberikan sebuah kotak
kayu. Agak berdebu dan sedikit terlihat usang. Kelihatannya kotak kayu ini
dibuatnya dari beberapa tahun yang lalu. Aku buka kotak itu pelan-pelan. Terlihat
sebuah kalung perak bertuliskan huruf alfabet TG dan juga terdapat foto aku
bersama Tama. Dibalik foto itu dituliskan, “Tama & Gina.” Kemudian,
disamping namaku ada tanda hati berwarna merah. Tama, terima kasih ya atas
semua yang kamu berikan kepadaku. Dan kamu, orang yang berarti untukku kemarin,
hari ini dan untuk selamanya. Kini aku hanya bisa mendoakan agar kamu tenang
disana. Dan suatu saat nanti, kita akan bersama di dalam surga dengan keadaan
yang sangat membahagiakan. Aku sayang dirimu Tama :’)
Pinocchio by Yulia Shyfa Pertiwi
Pinocchio by Yulia Shyfa Pertiwi